Oregade

Mengenang G 30S PKI

Posted on: October 1, 2006

SETELAH Orde Baru tumbang, debat tentang G-30-S/PKI seakan tidak pernah berhenti. Ia terus menjadi kontroversi. Tetapi, ada kecenderungan mereka yang semula meyakini PKI menjadi dalang Gerakan 30 September 1965, mulai mengendur. Atau sekurangnya mereka seperti cukup berkata dalam diam. Sementara suara yang menolak atau tak percaya keterlibatan PKI makin nyaring.

Negara juga cenderung bersikap pasif. Kini selama reformasi, misalnya, setiap 30 September tak ada lagi aktivitas negara mengibarkan bendera setengah tiang tanda perkabungan nasional. Para guru di sekolah juga tak lagi segairah dulu menjelaskan kejahatan PKI. Zaman memang telah berubah, juga pandangan-pandangan masyarakatnya tentang hal-hal yang dulu dianggap ‘luar biasa’. PKI kini memang tak lagi dianggap ‘monster’. Ia sebagai ideologi yang dibicarakan biasa-biasa saja.

Sejarah di mana pun memang sering melahirkan perdebatan tiada henti. Ia bisa menjadi amat subjektif tergantung dari mana melihatnya. Karena itu, sering pula batas antara pahlawan dan pengkhianat hanya terpisah oleh batas yang amat tipis, yakni pergantian rezim atau politik. Tetapi, apa pun alasannya, sebuah bangsa mestinya mempunyai sejarah yang ditulis dengan jujur. Dan, inilah wilayah para sejarawan untuk menggarapnya.

Dari berbagai diskusi yang mengemuka dan beberapa buku yang telah ditulis mengenai G-30-S/PKI sekurangnya ada empat kemungkinan yang mungkin terjadi. Pertama, peristiwa itu memang benar-benar didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Argumentasinya, komunisme memang punya tradisi merebut kekuasaan. Terlebih waktu itu partai ini amat kuat hingga mampu menyelusup memengaruhi tentara.

Kedua, merupakan kudeta halus Pak Harto kepada Bung Karno. Untuk memberi legitimasinya, kemudian Soekarno diminta mengalihkan kekuasaan kepada Soeharto lewat Surat Perintah 11 Maret. Sayangnya, benda ini hingga kini masih menjadi misteri, entah di mana disimpan. Atau boleh jadi memang tidak ada.

Ketiga, rekayasa Soekarno yang waktu itu tidak suka kepada para jenderal, terutama jenderal Angkatan Darat. Keempat, keterlibatan lembaga intelijen asing, khususnya Amerika, yakni CIA. Amerika punya kepentingan Soekarno jatuh karena waktu itu sang Presiden dinilai amat dekat dengan poros komunis.

Kini, siapa pun bisa dan boleh meyakini kemungkinan mana yang paling benar. Tapi, sekali lagi, bangsa ini butuh sejarah yang jujur. Sejarah yang jujur akan membuat bangsa ini menjadi kian dewasa dan tidak menjadi beban generasi yang lahir kemudian.

Penguakan misteri G-30-S/PKI bukan untuk meneruskan dendam, tetapi justru agar kita bisa belajar dari masa silam. Belajar dari kesalahan masa silam juga bisa meningkatkan kualitas kita sebagai bangsa.***

Leave a comment